Ket.foto: Suasana sidang Hariyadi vs Adaro Group Senin (2/6) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
9 Tahun Mencari Keadilan dan Kepastian Hukum:
Hariyadi Warga Desa Tawahan Kalsel Gugat Adaro Group ke Ibukota.
Jakarta, Galaxypost.id
Ada hal menarik pada suasana persidangan yang digelar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (2/6), yang mengundang perhatian khalayak dan awak media.
Dua warga asal Balangan Kalimantan Selatan terlihat bersama Kuasa Hukum Teten Masduki, SH beserta dua pengacara senior PERADI dan PERSADIN, yaitu M. Sholeh Amin,S.H.,M.H, dan Iim Abdul Halim,S.H, tiba pada pukul 10.00 WIB di PN Jakarta Selatan.
Sontak awak media mencari informasi ihwal perkara melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Selatan. Ternyata sudah sejak 4 September 2024, PN Jakarta Selatan menerima gugatan Hariyadi (44 tahun), warga Desa Tawahan, Kalimantan Selatan.
Gugatan ini terkait dengan perkara Perbuatan Melawan Hukum yang melibatkan lima perusahaan yang termasuk anak dan cucu PT Adaro Energy,Tbk yaitu PT. Alam Tri Abadi (ATA), serta anak perusahaannya yaitu PT. Laskar Semesta Alam (LSA) , PT. Sapta Indra Sejati (SIS), PT. Semesta Centramas (SCM) dan PT. Cakradenta Agung Pertiwi (CAP), yang juga merupakan anak perusahaan PT Astra Agro Lestari Tbk.
Tidak hanya itu. Turut tergugat dalam perkara ini juga beberapa pejabat dan instansi pemerintah terkait, seperti Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (Menteri ATR / BPN), Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Selatan dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Balangan.
Hariyadi sungguh punya nyali besar melawan raksasa tambang dan perkebunan sawit yang termasuk paling perkasa di Indonesia. Bagaimana sebenarnya duduk perkaranya?
Menurut keterangan Kuasa Hukum SAA Lawfirm, Hariyadi adalah pemilik lahan seluas 133,94 hektar yang terletak di Desa Tawahan dan Sungai Batung Kecamatan Juai Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan.
Bukti kepemilikan yang dipegang Hariyadi adalah 27 Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) sejak tahun 1992. Dia menerima lahan beserta surat-suratnya tersebut secara turun temurun, dari kakek dan ayahnya.
Namun sejak 2016 lahan tersebut dikuasai oleh PT ATA, pemilik HGU No. 5 Tahun 2014, PT LSA dan PT SCM (Pemilik Izin Usaha Pertambangan Khusus -IUPK dan membuat perjanjian kompensasi dengan PT ATA sebagai pemilik HGU No. 5 tahun 2014), serta dieksploitasi oleh PT SIS sebagai subkontraktor PT LSA.
Sebelumnya lahan tersebut dikerjasamakan keluarga Hariyadi dengan PT CAP untuk penanaman kelapa sawit, namun belum menghasilkan dan keluarganya tidak menerima kompensasi apapun dari PT CAP.
“Hariyadi telah berjuang selama 9 tahun mencari keadilan dengan berbagai cara, baik secara nonlitigasi maupun ligitasi,” ujar M. Sholeh Amin, SH, MH.
“Kami masih berprasangka baik bahwa ini bisa jadi hanya tindakan oknum, mengingat perusahaan publik sekelas Adaro pasti menjunjung tinggi prinsip Good Corporate Governance yang mengutamakan transparansi, integritas dan akuntabilitas.”
Adapun sidang di PN Jakarta Selatan hari itu menghadirkan dua saksi asal Kalsel, yang memperkuat posisi Hariyadi dalam perkara ini. Kedua saksi tersebut merupakan warga lokal yang mengetahui secara langsung dampak dan kronologi permasalahan yang dihadapi oleh Hariyadi serta masyarakat Desa Tawahan dan Sungai Batu.
Kehadiran mereka sangat penting untuk mengungkap fakta-fakta di lapangan, yang pelakunya selama ini seolah kebal hukum.
Menurut Sholeh Amin, Hariyadi telah mengirimkan 11 surat permohonan ganti-rugi sejak 1 Februari 2016, yang diserahkan dan diterima manajemen PT ATA dan PT LSA di Juai Halong. Semua bukti penerimaan ini ada di tangan Hariyadi.
Pada 22 Desember 2022, dia bahkan mendatangi kantor pusat Adaro di Gedung Cyber 2 , di Jalan Rasuna Said, Jakarta. Semua upaya ini gagal. Tidak satu pun surat-surat permohonan Hariyadi dibalas oleh pihak Adaro.
Kenyataan ini sungguh aneh dan mengherankan. Sebab, sebenarnya grup perusahaan tersebut, seperti terlihat dari sikap dan perbuatan PT LSA, telah mengakui bahwa lahan itu memang milik Hariyadi.
Hal ini terlihat dari permohonan izin pengeboran yang mereka mohonkan kepada Hariyadi di atas lahannya, pada tahun 2019. Dalam hal ini PT LSA melakukan beberapa kali pembayaran kepada Hariyadi untuk izin pengeboran tersebut, seperti terlihat dari bukti-bukti pembayaran yang hingga kini disimpan rapi oleh Hariyadi.
Lebih jauh lagi, bahkan PT LSA telah mengajukan penawaran harga kepada Hariyadi dalam sidang dengar pendapat di kantor DPRD pada tahun 2018.
Tentang turut tergugatnya Kementerian ATR/BPN, Sholeh Amin menjawab bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk kliennya, tetapi juga untuk menegakkan keadilan bagi masyarakat yang selama ini terpinggirkan dan dirugikan oleh praktik-praktik korporasi besar, sekaligus menuntut pertanggungjawaban dari instansi pemerintah yang diduga lalai dalam menjalankan fungsi pengawasan dan pemberian izin.
“Ada banyak dokumen perizinan yang tidak sinkron antara data lokal dan pusat serta dengan fakta di lapangan yang akan kami buktikan dalam persidangan selanjutnya,” pungkas Sholeh Amin.
***